MASALAH SOSIAL SAMPAH VISUAL

TUNTASKAN PERSOALAN SAMPAH VISUAL, SELAMATKAN LINGKUNGAN INDONESIA





“Sampah adalah musuh kita bersama, dengan do’a dan usaha mari kita awali langkah kita untuk tetap menjadikan bumi pertiwi ini bersih berseri”
Berdasarkan fakta, Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Disamping itu negara ini dianugerahi tanah yang subur serta lingkungan yang hijau. Namun, saat ini. Anugerah tersebut perlahan-lahan lenyap seiring dengan semakin berkembangnya kecanggihan teknologi dan semakin berkembangnya interaksi pola pikir manusia saat ini. Kebiasaan-kebiasaan yang menjadi rutinitas yang dijadikan sebagai sesuatu hal yang wajib untuk dilakukan bukan hanya memberikan efek positif terhadap perkembangan zaman, akan tetapi juga memberikan efek negatif.
Saat ini, kondisi lingkungan sekitar semakin mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut didasari terhadap berbagai persoalan yang sedang melanda lingkungan di negeri tercinta ini. Lingkungan hijau secara perlahan berubah menjadi lingkungan yang tandus, pepohonan yang lebat berubah menjadi pepohonan yang gersang dan masih banyak lagi. Salah satu persoalan yang hingga detik ini belum mampu di selesaikan dengan baik di negeri ini adalah persoalan seputar sampah. Di negeri ini, sampah yang berserakan dan dibuang bukan pada tempatnya masih sangat mudah untuk kita dapatkan.
Sampah terdiri dari beberapa jenis, yang umumnya dikenal terdapat dua jenis yakni sampah organik dan sampah non-organik. Selain jenis tersebut terdapat jenis sampah yang kian merebak dan memenuhi seluruh pelosok negeri ini terutama di kawasan perkotaan. Sampah tersebut adalah “Sampah Visual” dimana Sampah Visual adalah sampah yang kebanyakan terdiri dari berbagai iklan luar ruang biasanya berbentuk baliho, spanduk, shopsign, umbul-umbul danbillboard yang ditempelkan di tempat-tempat umum yang ramai publik yang berbahan plastik, kain, kertas dan lainnya.
Sampah Visual yang awalnya merupakan suatu atribut visual yang umumnya digunakan oleh para pelaku usaha kecil, menengah dan besar serta para calon pejabat politik atau pejabat politik dan lainnya. Tujuan dari penggunaan atribut visual ini sendiri yakni untuk mempublikasikan dan mensosialisasikan suatu informasi atau berita kepada khalayak umum. dilihat dari segi tujuan memang atribut visual ini memiliki dampak yang positif terhadap interaksi masyarakat. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah efek negatif dari atribut visual ini, yang akhirnya ketika atribut visual ini telah melewati batas publikasi atau kadaluwarsa tentu akan menjadi sampah.
            Fakta yang terjadi saat ini, baik di kawasan perkotaan hingga kawasan pedesaan. Semakin banyak sampah visual yang berjejer memenuhi kawasan yang umumnya berada di pinggiran jalan. Tidak adanya pengawasan yang serius dari aparat dan kurangnya bentuk tanggung jawab dari para pelaku untuk mencabut atribut visual yang telah terpasang terhadap atribut visual yang sudah kadaluwarsa, menyebabkan kawasan jalan-jalan umum menjadi kotor dan rusak. Keberadaan sampah visual telah menyebabkan berbagai kerugian bagi lingkungan di sekitar kita. Hal ini dikarenakan belum seriusnya pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan.
            Bukti sampah visual merugikan lingkungan sekitar antara lain: atribut visual umumnya dipasang di batang pohon dengan menancapkan paku di batang pohon, selain itu atribut visual sering dipasang pada tiang-tiang listrik dan beberapa fasilitas umum lainnya yang berada dekat dengan kawasan jalan-jalan umum. tentu hal ini dapat merusak lingkungan, dimana pohon merupakan mahkluk hidup yang tumbuh tetapi gara-gara atribut visual, kita tidak segan menancapkan paku di batang pohon tersebut, apakah kita tidak menyadari bahwa itu akan membunuh pertumbuhan pohon tersebut. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan sekitar menyebabkan banyak pohon yang rusak dan secara perlahan-lahan menjadi tumbuhan yang mati.
            Jika diperhatikan sampah visual ini bukan hanya mengganggu pandangan mata dan mengotori tatanan kota, tapi sampah visual yang kebanyakan terdiri dari iklan luar juga dapat membahayakan keselamatan. Kasus seperti baliho liar yang tumbang di jalan raya yang menagakibatkan kemacetan dan mungkin bisa jadi menimpa pengendara yang lewat disamping baliho tersebut. Memang belum banyak orang yang celaka akibat sampah visual, tapi jika dibiarkan terus menerus hal kecil seperti ini dapat berakibat fatal.
            Peningkatan jumlah atribut visual yang berujung sampah visual umumnya terjadi pada saat pesta demokrasi. Pemilihan Umum (pemilu) dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) menjadi ajang dimana atribut visual akan melonjak tinggi penyebarannya. Salah satu proses yang mengharuskan adanya atribut visual ini adalah proses kampanye pemilu atau pemilukada. Ketika kampanye dimulai maka disepanjang jalan-jalan umum hingga jalan-jalan pelosok akan dihiasi oleh atribut visual yang menerangkan identitas dari calon-calon pejabat politik, akibatnya ketika kampanye selesai banyak calon yang tidak bertanggungjawab terhadap atribut visual mereka sehingga atributnya menjadi sampah visual.
            Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Indonesia, dimana pesta demokrasi pemilihan legislatif dan presiden menjadi ajang politik terbesar dalam lima tahun sekali. Salah satu hal yang menyebabkan melonjaknya jumlah sampah visual adalah beragamnya jumlah partai yang menjadi peserta pemilu. Pesta demokrasi ini telah memasuki tahapan kampanye, pada proses ini salah satu hal yang wajib dilakukan oleh para calon pejabat politik adalah menyebar atribut visual mereka. Bahkan hal ini sudah jauh hari dilakukan sebelum proses kampanye dimulai. Seluruh wilayah umum di negeri ini sudah dihiasi atribut visual dengan jenis dan bahan yang bervariasi dan setelah proses kampanye berlalu  atribut ini akan menjadi sampah visual yang tidak berguna lagi.
Situasi seperti ini telah menarik perhatian beberapa warga masyarakat untuk menangani persoalan sampah visual ini. Salah satu warga yang turut keras menolak sampah visual ini adalah Sumbo Tinarbukmo. Sumbo telah mendirikan komunitas Reresik Sampah Visual yang bergerak untuk mencabut dan membersihkan kawasan umum dari sampah-sampah visual. Tindakan seperti ini sungguh sangat patut untuk ditiru oleh warga masyarakat lainnya. Akan tetapi, cara seperti ini dirasa kurang efektiv ketika tidak ada dukungan utuh dari aparat pemerintahan selaku pembuat kebijakan.
            Dibutuhkan solusi yang komperehensif dan berkepanjangan untuk mengatasi permasalahan sampah visual ini. Dalam artikel ini solusi yang penulis tawarkan adalah dengan membentuk regulasi yang mampu mengawal pemakaian atribut visual. Dalam regulasi tersebut terdapat beberapa hal yang harus diatur, antara lain: Pertama, lokalisasi kawasan atribut visual. Kedua, pembatasan jumlah dan jenis atribut visual. Ketiga, larangan dan sanksi bagi pelaku pemasang atribut visual dan Keempat, tanggungjawab para pemilik atribut visual.
            Untuk mengetahui sejauh mana solusi ini dapat diterapkan, maka penulis akan menguraikan bagaimana konsep dari pembentukan regulasi tentang atribut visual ini. Pembentukan regulasi atribut visual dapat dilaksanakan dengan membentuk undang-undang (uu) yang mana uu ini dapat menjadi pedoman pemerintah daerah (pemda) dalam membentuk peraturan daerah (perda) yang dikondisikan sesuai dengan daerahnya masing-masing. Regulasi ini nantinya akan menjadi pedoman bagi para pelaku usaha ataupun calon-calon pejabat politik dalam menyebarluaskan atribut visualnya.
            Kemudian hal terpenting yang harus dimuat dalam regulasi ini yakni mengatur tentang lokalisasi atribut visual. Berdasarkan kondisi saat ini, atribut visual umumnya dipasang dipinggir jalan-jalan umum yang mana hal ini membuat pemandangan yang kotor dan tidak nyaman untuk dilihat. Oleh karena itu, melalui lokalisasi diharapkan pemerintah menyiapkan suatu kawasan yang menjadi pusat pemasangan atribut visual. Lokalisasi ini dapat diterapkan sesuai dengan jenis atribut visual masing-masing. Sehingga kedepannya tidak ada lagi sampah visual yang berjejer di jalan-jalan umum, pepohonan dan fasilitas umum. lokalisasi ini tidak akan mengurangi atau menghambat pengetahuan masyarakat terhadap suatu informasi atau berita, apabila lokalisasi ini sendiri memiliki kawasan yang strategis seperti lapangan yang lapang di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.
            Selanjutnya, membatasi jumlah dan jenis dari atribut visual. Dengan melakukan upaya pembatasan jumlah atribut maka ini akan memberikan dampak yang positif bagi para pemilik maupun daya muat lokalisasi atribut visual. Disamping meminimalisir penggunaan dana juga ini akan mengurangi sampah visual. Terkait pembatasan jenis, dimana selama ini atribut visual dibuat dalam berbagai bentuk seperti dari definisi sampah visual sebelumnya. Jika terlalu banyak jenis atribut visual, maka hal ini akan mengakibatkan melonjaknya jumlah sampah visual dengan jenis yang beragam.
            Kemudian, larangan dan sanksi bagi pemilik atau pelaku yang memasang atribut visual. Larangan yang dimaksudkan seperti larangan memasang atribut visual dengan memaku di batang pohon atau menempelkan di fasilitas-fasilitas umum. ketika larangan ini dilanggar, maka harus ada sanksi yang ditetapkan baik itu sanksi administratif atau sanksi pidana (penjara dan denda). Hal ini bertujuan untuk menciptakan efek jera dan menjadi pisau awas bagi para pihak yang ingin menggunakan atribut visual agar tidak merusak lingkungan sekitar.
Terakhir yakni mengenai tanggungjawab para pihak yang ingin menggunakan atribut visual, dimana hal ini lebih menekankan bagaimana upaya tindaklanjut bagi para pihak yang menggunakan atribut visual untuk membersihkan kawasan dengan mencabut semua sampah visual yang telah disebar. Hal ini dilakukan dengan menentukan periode waktu yang jelas, sehingga dalam waktu singkat tercipta kawasan yang bebas dari sampah visual. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak perlu bersusah payah lagi untuk membersihkan sampah visual yang berada di lingkungan mereka, akan tetapi menjadi tanggungjawab bagi pemilik atribut visual itu sendiri.

Reklame Konvensional: Sampah Visual dan Pemborosan Energi
Hingga saat ini kita belum menemukan terobosan baru mengurangi sampah visual dari reklame liar yang tersebar di perempatan jalan dan sepanjang jalan-jalan utama di kota. Sampah visual dari reklame ini jelas sangat mengganggu apalagi ketika tiang reklame biasanya dipasang di bagian tengah jalan (pemisah dua ruas jalan). Reklame raksasa ini mengaburkan identitas kawasan apalagi jika tidak diatur penempatannya. Pemerintah kota tentu punya wewenang untuk menentukan lokasi mana saja yang dibolehkan/diberi izin untuk memasang reklame. Selain lokasi pemasangan reklame, pemerintah juga perlu mengatur ukuran panjang dan lebar masksimal reklame, font dan warna teks yang digunakan, agar tidak merusak pandangan, kebanyakan warna-warna reklame di jalan selalu berwarna terang menyala, dan semrawut.
Terobosan lainnya, dengan memberlakukan "masa tenang" yakni tidak memasang reklame dalam jangka waktu tertentu setelah pemasangan tahap pertama dilakukan. Misalnya, jadwal masa pemasangan iklan berlangsung selama dua minggu, lalu dua minggu setelahnya reklame harus dirturunkan. Pemerintah kita bisa memberi insentif jika pemilik reklame menaati aturan tersebut, dengan memberi "reward" seperti mengurangi beban pajak untuk satu kali pemasangan. Dengan cara ini, sampah visual bisa dikurangi karena pemerintah berhasil mengatur penempatannya dan masa iklannnya. Jadi menghilangkan sama sekali papan reklame, bukan solusi dua arah. Dalam hal ini pemerintah dan pemilik usaha bisa sama-sama diuntungkan, pendapatan daerah tidak terganggu dan identitas kawasan tetap terjaga. 
Lalu, bagaimana dengan aturan konsumsi energi maksimal untuk papan reklame?
Keberhasilan pemerintah Kota Surabaya mengurangi konsumsi listrik dari lampu jalan konvensional dan menggantinya dengan pemakaian LED bisa diterapkan untuk papan reklame. Sosialisasi tahapan penggantian jenis lampu neon ke LED untuk reklame dapat dilakukan secara bertahap oleh pemerintah. Dimulai dalam skala kecil (ruas jalan utama) untuk melihat keberhasilannya mengurangi pemakaian energi per/bulan. Ada kecenderungan, jika masyarakat kita senang melihat keberhasilan percontohan lebih dulu, baru ikut tergerak melakukan gerakan kolektif mengikuti kebijakan pemerintah. Olehnya itu, pemerintah perlu melakukan terobosan penggantian lampu konvensional dalam skala kecil dahulu, jika berhasil pemerintah tentu punya data dan hitung-hitungan ekonomi untuk dipaparkan ke pemilik reklame yang lain. Cara ini juga menunjukkan komunikasi dua arah antara pemerintah dan pemilik usaha yang diiklankan produknya.
Diantara banyak kegagalan pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha (ekonomi) menemukan solusi satu masalah karena bahasa komunikasi visual maupun tersurat selalu berbunyi larangan. Misalnya, "Dilarang memasang baliho, reklame di sini", atau "Dilarang berjualan sepanjang jalan ini." Saya selalu tertarik jika pendekatan yang dilakukan pemerintah ke masyarakat dan pelaku bisnis selalu mengutamakan musyawarah, kumpul bersama, makan bersama seperti yang pernah dilakukan Pak Jokowi sewaktu merelokasi PKL di Taman Monjari Solo.
Saya percaya, memelihara kota dapat dilakukan dengan pendekatan humanis oleh pemerintah ke masayarakat dan pengusaha, bukan sebaliknya pemerintah tidak ikut campur, yang bertikai/bentrok di bawah adalah publik dan pengusaha. Jadi tidak mengejutkan ketika banyak protes warga yang dilakukan kini justru menambah masalah baru. Termasuk ide untuk mengurangi sampah visual, tidak ada salahnya pemerintah kita melakukan upaya yang terstruktur, memberi reward/ penghargaan kepada pengusaha dan warga kota yang konsisten menaati lokasi pemasangan reklame yang sudah ditetapkan pemerintah kota.
Dalam artikel ini, penulis tidak menginginkan penggunaan atribut visual dihentikan, akan tetapi diperlukan pengaturan yang secara komperehensif untuk meminimalisir baik jumlah maupun lokasi pemasangan penggunaan atribut visual di Indonesia. Bangsa ini berhak untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan yang bersih dan rapi. Karna Negara Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, oleh karena itu pemerintah wajib melakukan upaya preventif dan represif dalam menangani persoalan sampah visual saat ini. 
http://gnarmanto.blogspot.com/2014/04/tuntaskan-persoalan-sampah-visual.html
http://studentsite.gunadarma.ac.id/index.php/site/login

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana cara membuat pitch deck untuk menarik Investor?

KASUS PAJAK DI INDONESIA